Minggu, 12 Agustus 2012

Mulut (Bisa) Membawa Maut


Segala yang keluar dari penuturan kita, manusia, mencerminkan hakikat diri kita. Mulut (lisan) merupakan bagian vital kita yang penggunaannya mendominasi keseharian kita. Sering kita mendengar bahwa Allah telah menciptakan untuk kita, hamba-Nya, satu mulut dan dua telinga dengan harapan kita lebih mendengar daripada melihat. Akan tetapi, pada kenyataannya, manusia banyak memfungsikan anggota tubuh yang memiliki dua bibir ini daripada menajamkan penggunaan telinga.
Kenapa?                                 
Adalah fitrah bahwa manusia ingin mendapatkan pengakuan di lingkungan tempat dia berada. Aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi manusia menurut Maslow (1943). Dan berbicara adalah satu upaya paling kentara dari upaya aktualisasi diri. Dengan berbicara, kita mentransferkan apa-apa yang menjadi ide, harapan, keinginan, maupun tanggapan kita terhadap sesuatu.
Berbicara juga merupakan salah satu cara kita mengetahui karakter diri maupun orang sebagai lawan bicara kita. Walaupun bukan suatu kemutlakan, logikanya, orang dengan latar belakang pendidikan tinggi, akan memiliki cara dan bahasan pembicaraan yang lebih matang dibandingkan orang yang tidak memiliki background pendidikan sama sekali. Demikian halnya dengan karakter. Orang dengan karakter rendah hati dan lembut, akan berimbas pada cara bicaranya yang juga lembut. Orang dengan karakter keras cenderung memiliki cara bicara yang to the point dan tegas. Sekali lagi, hal ini bukan suatu kemutlakan karena tidak jarang kita saksikan, orang dengan level pendidikan tinggi malah mengatakan hal-hal kasar, menjatuhkan, dan tidak mendidik. Dan sesekali mungkin kita temui orang dengan pribadi kuat dan tegas namun cara bicaranya sejuk lagi lembut.
Mulut dan bicara adalah dua hal tak terpisahkan dari diri manusia. Keduanya menjadi ujung tombak kehidupan, utamanya kehidupan sosial manusia. Sebuah statemen ‘mulutmu harimaumu’ cukup merepresentasikan bagaimana pentingnya memiliki dan menjaga mulut kita dari hal-hal yang sia-sia apalagi merugikan.
Sering saya melihat di lingkungan pergaulan di sekitar saya yang dengan enteng kata-kata umpatan kasar terucap. Entah hewan berkaki empat nyata atau diplesetkan, entah kata umpatan dalam bahasa inggris, atau yang lain sering bersliweran di telinga saya. Hal itu sangat membuat saya merasa risih dan jengah. Saya menjadi ingat betapa Melalui kata yang terucap oleh mulut, perkelahian hingga pertumpahan darah pun bisa terjadi.
Saya sangat salut dengan cara orang tua saya mendidik kami, anak-anak mereka, tentang berbicara. Saya, semenjak TK hingga sekarang, sangat jarang mengatakan kata-kata umpatan. Ketika marah, benci, atau mendapat hal kurang menyenangkan apapun, diri saya pribadi akan sangat menghindar dari perkataan kasar. Bagaikan mendapat sengatan listrik jika saya mungkin secara emosional melontarkan umpatan.
Saya bahkan masih mengingat peristiwa yang sampai sekarang saya jadikan pembelajaran tentang pendidikan orang tua saya terhadap berbicara ini. Bukan bermaksud menyombongkan diri ataupun orang tua, saya hanya ingin sedikit berbagi hal sederhana ini. Dulu, saat pertelevisian tanah air tengah ramai oleh serial Warung Kopi (warkop); Dono, Kasino, dan Indro, terdapat sebuah kata yang saya imitasi dari tokoh Indro. Kata sederhana yakni ‘inang’.
Kata ini diucapkan tokoh saat tengah mendapat kesialan seperti tersandung, jatuh, kaget, dll. Dan itu pernah satu-dua kali saya lontarkan saat saya mendapat hal kurang mengenakkan. Mendengar hal itu, dengan tegas ibu saya menegur dan memberhentikan perbuatan saya itu. Kata beliau, jika dibiarkan, meskipun hal itu kecil, akan berdampak buruk bagi saya ke depan.
Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”
Nah, betapa pentingnya menjaga segala sesuatu yang terucap dari mulut kita. Menjaganya bukan berarti menjadikan kita pribadi pendiam yang introvert. Namun, menjaga lisan mengarahkan kita menjadi pribadi hanif, berakhlaq, dan bermanfaat…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar